nyieun wawangsalan tugas bahasa sunda!
papan panjang tina kacang
dijual sahiji gope
wangsalna:tempe
rupa warna dina taneuh
sok di enteupan ku kumbang
wangsalna:kembang
meunang neang hese cape
sok beak ku budak alit
wangsalna:duit
sok maju lamun ditincak
teu sarua jiga kadal
wangsalna:sendal
dipakena dina raray
dipake oge di awak
wangsalna:bedak
tos ngan sakieu heula, kena di sambung deui.
Cari Blog Ini
Sabtu, 29 Oktober 2011
Selasa, 11 Oktober 2011
makhluk sabar itu bernama ibu...
Saat orang lain bermain riang di luar, aku hanya bisa melihat keceriaan mereka dari jendela kamar.
Aku terlalu lemah untuk bisa ikut bersenang-senang. Di sekolah pun begitu, saat istirahat aku hanya duduk dibangku sambil memakan bekal yang diberikan oleh ibu. Saat pelajaran olahraga, aku tidak pernah diikutsertakan bermain dalam kelompok. Misalnya bola voli, bola basket, atau apa pun itu. Pernah suatu kali aku ikut bergabung, dan akhirnya aku pingsan dan dirawat di rumah sakit selama seminggu. Temanku hanyalah ibu dan obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Saat aku bertanya pada dokter apa penyakitku, dokter tidak pernah memberitahuku. Dokter hanya tersenyum, seharusnya dia tahu, aku tidak butuh senyuman.
Aku benci melihat yang lain berlari, tertawa dan berteriak. Kenapa mereka tidak pernah mau mengenalku? Jika tidak seperti itu aku tidak akan semurung ini. Setiap hari aku selalu berpikir untuk mengakhiri hidupku. Namun, aku sayang ibuku. Ayah seolah tidak peduli pada kesehatanku. Meskipun dia yang memberikan uang untuk pengobatanku. Jujur, aku tidak butuh itu. Aku hanya ingin teman-temanku, dan ayahku. Aku sedih melihat ibu yang selalu sabar merawatku. Padahal aku tahu, ibu lelah dengan semua ini. Jika harus memilih, mungkin ibu memilih agar aku meninggal daripada melihatku menderita seperti ini.
Setiap pembagian lapor hasil belajar, aku tidak pernah melihat nilai olahragaku meningkat naik. Masih untung selalu pas-pasan. Daripada, kurang dari KKM. Ibu mamaklumi itu, ibu hanya mengusap kepalaku sambil bergumam “Tersenyumlah anakku, ada ibu di sini.”
Aku berusaha menahan tangis dan mencoba untuk tersenyum.
“Ibu, bolehkah aku bertanya?”
“Bertanya apa sayang?”
“Ibu tidak malu memiliki anak sepertiku, aku tidak seperti yang lain bu.”
Ibu terdiam beberapa saat, kemudian beliau tersenyum
“Bagaimana pun kamu, keadaanmu, rupamu, sifatmu, ibu tidak pernah malu memilikimu.”
Aku terdiam, ingin rasanya aku menjerit. Kenapa aku tidak bisa membahagiakan makhluk
yang sangat sabar ini, Tuhan. Air mata hampir tidak bisa ku tahan, namun aku tidak mau memerlihatkan pada ibu. Ibu memeluk diriku,
“Maafkan aku bu, aku selalu menyusahkan...” ibu tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Namun kurasakan air mata menetes pada hidungku. Ya Tuhan, aku membuat ibu menangis.
Bahagiakan ibuku ya Tuhan, ibu sudah sesabar ini merawatku.
Aku tidak berguna! Tidak!
“ibu, kalau aku mati mungkin ibu tidak akan capek. Iya kan bu?”
“capek? Sekarang pun ibu tidak capek sayang.”
“bohong, ibu pasti capek. Aku tidak mau menyusahkan ibu lagi. Bu, bolehkah aku meminta?”
“apa sayang?”
“ibu harus janji kalau aku tidak ada, ibu harus bertahan meski ayah tidak disebelah ibu.”
“jangan seperti itu sayang.”
“ibuku orang yang kuat, tegar, ibuku juga sabar. Buktikan itu bu. Maafkan aku bu, aku tidak bisa menjaga ibu, tidak bisa membahagiakan ibu. Ibu pun pasti tidak menyangka memiliki anak sepertiku. Iya kan bu?”
“sayang, sayang, jangan seperti itu. Kamu harus bertahan demi ibu. Kamu tidak sakit, kamu hanya lemah. Mengerti? Karena itu kamu harus buktikan kalau kamu kuat! Hanya kamu yang ibu miliki.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku tertidur di pelukan ibu.
Aku bergumam di dalam tidurku, maafkan aku, bu...
Langganan:
Postingan (Atom)