Cari Blog Ini

Sabtu, 29 Oktober 2011

kumpulan wawangsalan

nyieun wawangsalan tugas bahasa sunda!

papan panjang tina kacang
dijual sahiji gope
wangsalna:tempe

rupa warna dina taneuh
sok di enteupan ku kumbang
wangsalna:kembang

meunang neang hese cape
sok beak ku budak alit
wangsalna:duit

sok maju lamun ditincak
teu sarua jiga kadal
wangsalna:sendal

dipakena dina raray
dipake oge di awak
wangsalna:bedak

tos ngan sakieu heula, kena di sambung deui.

Selasa, 11 Oktober 2011

makhluk sabar itu bernama ibu...


Saat orang lain bermain riang di luar, aku hanya bisa melihat keceriaan mereka dari jendela kamar. 
Aku terlalu lemah untuk bisa ikut bersenang-senang. Di sekolah pun begitu, saat istirahat aku hanya duduk dibangku sambil memakan bekal yang diberikan oleh ibu. Saat pelajaran olahraga, aku tidak pernah diikutsertakan  bermain dalam kelompok. Misalnya bola voli, bola basket, atau apa pun itu. Pernah suatu kali aku ikut bergabung, dan akhirnya aku pingsan dan dirawat di rumah sakit selama seminggu. Temanku hanyalah ibu dan obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Saat aku bertanya pada dokter apa penyakitku, dokter tidak pernah memberitahuku. Dokter hanya tersenyum, seharusnya dia tahu, aku tidak butuh senyuman.
Aku benci melihat yang lain berlari, tertawa dan berteriak. Kenapa mereka tidak pernah mau mengenalku? Jika tidak seperti itu aku tidak akan semurung ini. Setiap hari aku selalu berpikir  untuk mengakhiri hidupku. Namun, aku sayang ibuku. Ayah seolah tidak peduli pada kesehatanku. Meskipun dia yang memberikan uang untuk pengobatanku. Jujur, aku tidak butuh itu. Aku hanya ingin teman-temanku, dan ayahku. Aku sedih melihat ibu yang selalu sabar merawatku. Padahal aku tahu, ibu lelah dengan semua ini. Jika harus memilih, mungkin ibu memilih agar aku meninggal daripada melihatku menderita seperti ini.
Setiap pembagian lapor hasil belajar, aku tidak pernah melihat nilai olahragaku meningkat naik. Masih untung selalu pas-pasan. Daripada, kurang dari KKM. Ibu mamaklumi itu, ibu hanya mengusap kepalaku sambil bergumam “Tersenyumlah anakku, ada ibu di sini.” 
Aku berusaha menahan tangis dan mencoba untuk tersenyum. 
“Ibu, bolehkah aku bertanya?”
“Bertanya apa sayang?” 
“Ibu tidak malu memiliki anak sepertiku, aku tidak seperti yang lain bu.” 
Ibu terdiam beberapa saat, kemudian beliau tersenyum
“Bagaimana pun kamu, keadaanmu, rupamu, sifatmu, ibu tidak pernah malu memilikimu.” 
Aku terdiam, ingin rasanya aku menjerit. Kenapa aku tidak bisa membahagiakan makhluk 
yang sangat sabar ini, Tuhan. Air mata hampir tidak bisa ku tahan, namun aku tidak mau memerlihatkan pada ibu. Ibu memeluk diriku, 
“Maafkan aku bu, aku selalu menyusahkan...” ibu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. 
Namun  kurasakan air mata menetes pada hidungku. Ya Tuhan, aku membuat ibu menangis. 
Bahagiakan ibuku ya Tuhan, ibu sudah sesabar ini merawatku. 
Aku tidak berguna! Tidak!
“ibu, kalau aku mati mungkin ibu tidak akan capek. Iya kan bu?”
“capek? Sekarang pun ibu tidak capek sayang.”
“bohong, ibu pasti capek. Aku tidak mau menyusahkan ibu lagi. Bu, bolehkah aku meminta?”
“apa sayang?”
“ibu harus janji kalau aku tidak ada, ibu harus bertahan meski ayah tidak disebelah ibu.”
“jangan seperti itu sayang.”
“ibuku orang yang kuat, tegar, ibuku juga sabar. Buktikan itu bu. Maafkan aku bu, aku tidak bisa menjaga ibu, tidak bisa membahagiakan ibu. Ibu pun pasti tidak menyangka memiliki anak sepertiku. Iya kan bu?”
“sayang, sayang, jangan seperti itu. Kamu harus bertahan demi ibu. Kamu tidak sakit, kamu hanya lemah. Mengerti? Karena itu kamu harus buktikan kalau kamu kuat! Hanya kamu yang ibu miliki.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku tertidur di pelukan ibu.
Aku bergumam di dalam tidurku, maafkan aku, bu...

Selasa, 20 September 2011

bulanku

Malam ini, tetap saja seperti malam-malam yang lain. Berdiri mematung sambil menengadahkan kepala ke langit. Melihat bulan yang hanya tinggal setengah. Tetapi, itulah yang aku suka. Seperti menyunggingkan senyum. Untukku. Hanya untukku.
Bulan terkadang membulat sempurna, bagai kuning telur. Tetapi bulan juga suka menghilang entah kemana.
Itu akan membuatku resah, dan membuat tidurku tidak lelap.


Tiba-tiba handphone ku berbunyi. "haah mengganggu saja." gumamku.
"Haah ngapain arul menelfonku?" tanyaku pada diri sendiri.
Trek.
"hallo, assalamualaikum." kataku.
"waalaikumsalam, li."
"ada apa rul?"
"oh tidak, eh ada."
"lalu? Ayolah."
"jangan marah, besok ada waktu? Aku akan mengajakmu ke bukit yang ada di ujung desa."
"ah mau apa? pasti memandang bulankan?"
"yeah, ayo kita memandang bulan bersama. Kamu mau kan? Aku hanya ingin berdua denganmu."
"huuh, apaan tuh? Menggombal?"
"terserah apa katamu. Mau kan?"
"baiklah."
"terima kasih, ingat! jam 7 malam besok. Dadah."
"yap, dadah."
trek. Perbincangan yang aneh telah selesai. Oh iya, Arul adalah kekasihku. Memang kita tidak terlihat seperti sepasang kekasih. Kita lebih sering bertengkar. Namun, itu yang membuatku nyaman di sisinya. Dia tidak serius marah, hanya bercanda. Apalagi senyumnya. Bagai bulan sabit.
Itulah alasan mengapa aku menyukai bulan.


***


esoknya, jam 7 tepat. Arul sudah berada di rumahku. Dia terlihat keren, walau sudah malam. Atau karena cinta dia terlihat seperti itu? Ah entahlah.
"hai?" sapanya, sambil menyunggingkan senyum nakalnya.
Ah melihat dia tersenyum seperti itu membuat jantungku berdetak 3 kali lipat dari biasanya.
"hai juga. Ayo kita temui ibuku katanya dia rindu padamu." aku menarik tangannya dan mengajaknya masuk.
"bu, kami pergi yah?"
"iya, jangan malam-malam. Eh, Arul. Sudah makan?"
"sudah bu. Bu, aku pinjam lily sebentar."
"ahaha, Arul Arul memangnya lily barang?"
"hahaha bukan sih bu."
"yasudah, cepat pergi sana. Jangan malam-malam yah rul."
"siap bu."Arul menyalami tangan ibuku, dan setelah itu menyeretku keluar


***

"nah ayo kita pergi." 
ujarnya bersemangat. Dia menggandeng tanganku. Tangannya besar dan hangat.
Bukit yang berada di ujung desa memang agak jauh dari rumahku. Tetapi perjalan yang aku tempuh tidak terasa berat. Karena aku berjalan berdua dengannya. Seseorang yang aku sayangi sedang berdiri di sampingku. Tepat di sampingku. Aku meliriknya. Memang tingginya hanya beda beberapa senti dari tinggiku. Tetapi, tetap terlihat keren dimataku.
Eh, bukan hanya dimataku, tetapi di mata wanita-wanita yang selalu mengirim sms padanya. Itu yang membuatku heran, mengapa dia malah memilih bersamaku. Sudah lama aku memendam rasa heran tersebut. Lalu sekarang aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.


"rul. Bolehkah aku bertanya?"

"apa? Jangan yang aneh-aneh. Kau kan suka bertanya yang aneh-aneh."
"eu, aku tidak tau pasti ini aneh atau tidak, tapi...
Kenapa kau memilihku?""maksudmu?"

"ya, kenapa kau memilih aku untuk jadi teman hatimu? Padahal masih banyak perempuan lain yang menyukaimu."
arul menghentikan langkahnya. Dan menatapku. Aku sedikit kikuk. "di dekatmu aku bisa gila-gilaan. Tak perlu takut tidak terlihat keren. Karena kau juga begitu. Sedikit gila dan meledak-ledak. Kau itu perempuan kuat, galak, tapi cengeng. Itu yang membuatku ingin menjagamu. Dan yang paling penting aku mencintaimu."
aku terdiam beberapa saat, dan tersenyum dalam hati.
"hah? Apa maksudmu aku galak?" ujarku berapi-api. Aku pukul tanganya. Tetapi dia berkelit.
"tuh kan, apa kataku? Kau itu galak."

 "tidak! Aku ini perempuan manis."" apanya yang manis? Hah? Kau tidak sadar rupanya?"
"apa? Apa kau bilang?"
 aku memukul tangannya lagi. Dan sekarang dia terlambat berkelit.
 "sudah, jangan marah-marah. Aku sedang ingin menikmati kebersamaan kita. Ku mohon, jangan rusak acara ini."
 wajahnya terlihat malu-malu. Dan itu membuatku ingin tertawa. Tapi ku tahan. Katanya kan aku jangan merusak acaranya.
 Yah apa boleh buat. Aku mengalah.


***

 Kita telah sampai di bukit yang berada di ujung desa. Sepi seperti biasanya, yang ada hanya suara jangkrik.

***

aku menggetarkan tubuhku saat angin malam berhembus.
"kau kedinginan?" tanya arul.
"tidak. Aku hanya beradaptasi saja."
"haah, kau ini perempuan aneh."
aku cemberut. Berpura-pura tidak senang dengan apa yang dia katakan.
"lalu kenapa kau menyukai perempuan aneh sepertiku?"
arul melihatku sebentar tapi tidak ada tanda-tanda darinya jika dia akan menjawab pertanyaanku. Dia malah menyeretku sampai baju hangatku sedikit berubah posisi.
"apa yang kau lakukan? Kau berniat merusak baju hangatku?"
"tidak. Kau bohongkan? Yang ku lihat sebenarnya kau kedinginan meski sudah memakai baju hangat. 
Jadi aku berniat untuk membuatmu hangat."
katanya sambil mendekapku.
ahh apa arul tau? Kata-kata yang diucapkannya tadi sudah membuat tubuhku menghangat.


***

"ly, lihat." ujarnya tiba-tiba.
"apa? Apa? Kau ingin aku melihat apa?"
"lihat bulannya."
"oh, haah kau ini. Iya aku melihatnya. Kau berniat mengambilkannya untukku?"
"haah? Kau berpikir seperti itu? Hahaha. Kau pikir aku seorang pembual. tidak. Tidak akan. Jangan berharap."
dia menggelengkan kepalanya.
"aku kan hanya setengah bercanda. Aku juga tau, kau bukan tipe orang yang akan berkata seperti itu kepada kekasihnya. Kau kan bebal." aku berdalih.
"tidak tidak. Sudah jangan diteruskan. Itu hanya akan membuatmu terlihat bodoh."
"apa aku terlihat seperti itu? Terserah apa katamu. Kau seenaknya saja berkata begitu. Sekarang aku tidak akan berbicara padamu."

aku menjauh dari tempat arul berdiri.
Aku meliriknya. Tidak ada respon.
Bebal!
Benar-benar bebal!
Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
Haah bodoh katanya?
Apa aku tidak salah dengar.


***


Dua menit...
lima menit...

dia tetap saja tidak menoleh ke arahku.
Aku gerak-gerakkan kakiku karena menahan sebal.
'Ah, kenapa kau tidak mendekat?' geramku dalam hati.
Akhirnya aku putus asa.
Aku berjalan mendekatinya. Melingkarkan tanganku kepinggangnya.

"kenapa kau selalu acuh sayang?"
aku bergumam sambil membenamkan mukaku kepunggungnya.
Dia tidak bereaksi.
Apa dia mati?
Ah tidak, aku mendengar jantungnya masih berdetak.
Tiba-tiba dia memegang tanganku dan melepaskan pelukanku. Setelah itu dia berpaling ke arahku yang ada di belakangnya.
"kau perempuan aneh. Sungguh aneh.Tadi kau marah, sekarang malah memelukku." 
ekspresi wajahnya datar.
"kau yang aneh. Aku hanya ingin mendapat perhatian darimu. Kenapa kau selalu begitu?
Acuh terhadapku."
kataku sambil mencengkram kedua tangannya kuat-kuat.
"aku memang begini. Tidak bisa menunjukkan dengan sikap jika aku menyukaimu. Tapi, kamu harus percaya satu hal. Aku tidak pernah main-main dengan perasaan yang aku berikan kepadamu saat ini."
aku terperangah. Tidak pernah aku berfikir kalau dia bisa berkata seperti itu. Ku kendorkan cengkramanku.
"iya, aku percaya padamu."

hening...

"sudah malam. Ayo pulang. Aku tidak mau membuat ibumu khawatir."
arul menarik tanganku.

***

di perjalanan,

"kata-kata yang aku ucapkan tadi bagus kan?"
"iya, kau sedikit romantis. Tapi hanya sedikit."
"kau tau?"
"apa?"
"kau tau, tadi waktu kau cemberut, kenapa aku tidak mendekatimu? Itu karena aku berfikir keras menyusun kata-kata seperti itu. Kau tau kan aku bukan tipe orang romantis. Tapi aku lakukan itu biar kau senang. Bagaimana? Aku keren kan?"
"keren? Hahaha kau itu."
ku pukul pundaknya.
Dia terlihat malu. Tapi biarkan saja. 
Aku menengadahkan kepalaku ke langit.
Menatap bulan di sana sambil memegang tangannya.
Dia memang bulanku.
Aku senang bersamanya.
Aku berdoa di dalam hati.
Semoga Allah menjaga dia agar bisa tetap bersamaku.
Semoga Allah memberi kesehatan padanya agar dia bisa menjagaku. 
Dan semoga Allah memberikan kebahagiaan kepadanya.
Amin...


jane gadis topi jerami

Jane meneguk habis susu yang sedari tadi dia diamkan begitu saja. dia lebih memilih untuk bersiap-siap pergi ke ladang. Jane hanya seorang anak petani melon di Jepang. "Jane minum dulu susumu. jangan lupa pakai topi jerami mu. kau tau kan matahari bersinar terik dimusim panas?" kata ibunya sambil meletakkan topi jerami di pinggir Jane. Jane menoleh dan tersenyum. dia meneguk susunya hingga habis dan setelah itu dia menggerak-gerakkan tangannya sebagai bahasa isyarat. Jane seorang tunawicara, meski pun dia seperti itu dia adalah seorang gadis yang memiliki semangat tinggi. "Iya Jane, hati-hati sayang. setelah pulang dari ladang kau akan temukan makanan kesukaanmu sudah terhidang di atas meja." Ibunya tersenyum dan mencium pipi anaknya. Jane tersenyum, dia mengambil topi jeraminya dan berlari menuju ladang. Jane lahir dari ibu asli Jepang dan ayahnya juga asli orang Jepang tetapi memiliki darah indian dari kakek jane. sehingga Jane tumbuh menjadi anak berkulit hitam manis dan bermata sipit.
Dia selalu berpikir, kenapa dia tidak memiliki kulit putih dari ibunya dan mata bulat dari ayahnya. dan kenapa dia memiliki nama yang aneh. Dia ingin tau mengapa dia dinamakan jane, bukan Sora atau oun Hime seperti nama teman-temannya yang bersekolah di tempat yang sama. Jane bersekolah di sekolah luar biasa. Tetapi nama sekolah Jane adalah sekolah bintang malam. kata guru jane, sekolah ini untuk anak-anak yang baik dan bersinar. bersinar di hati orang tua mereka.
Jane sekolah dari hari senin sampai sabtu. Karena sekarang hari minggu jane akan membantu ayahnya bekerja di ladang.

***
Kira-kira lima belas menit perjalanan, jane sampai di ladang. dia melihat ayahnya sedang menyemprotkan air ke tanaman melon yang sudah berbuah. jane menepuk punggung ayahnya. kemudian, dia mulai menggerak-gerakkan tangannya. "Halo juga Jane, kau bisa membantu ayah sekarang? kau lihat petakan tanah di sana itu? ayah sudah menggemburkannya. Lalu tugas mu, semaikan benih-benih melon ini ke tanah itu. kau tau kan caranya? dulu ayah sudah mengajarimu bagaiman melakukannya." ayah memberikan bibit melon ke tangan Jane. Jane mengangguk menandakan dia mengerti. dia segera berlari menuju petakan tanah yang tadi ditunjukkan oleh ayahnya. "Hati-hati Jane!" teriak ayah, namun jane tidak memberikan isyarat apapun.

***

sesampainya di petakan tanah yang telah ditunjukkan oleh ayahnya, Jane mulai bekerja. Dia ambil beberapa benih dan mulai menyemainya. Setelah semua itu selesai, Jane memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Melihat hasil kerja dengan caranya sendiri. Jane tersenyum puas, ayahnya akan bangga dengan hasil kerjanya.

***

Jane kembali ketempat ayahnya. di sana ayah telah menungggunya untuk pulang. "Sudah beres Jane? terima kasih kau telah membantu ayah di ladang. minggu depan kita akan pergi ke kota untuk menjual melon yang telah ayah panen. di sana kau bisa membeli sepatu dan baju baru. kau paham?" jane mengangguk dan tersenyum senang.
Dia memiliki ayah dan ibu yang baik. meski dia tidak seperti anak yang lain, ayah dan ibu tidak pernah memarahinya, apalagi menyiksannya. jane menggenggam tangan ayahnya. dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi dengan keadaanya dia mengganti ucapan dengan perlakuan. t.e.r.i.m.a k.a.s.i.h

tak sangka...

Langit menghitam perlahan
Sepertinya mentari  kelelahan
Menutup semua warna yang mewarnai kehidupan
Begitu juga dengan perasaan
Menghitam, dingin, dan  terlupakan...
                                                                                   
Ketika aku buka jendela kamar, angin menyusup sampai kepersendiaan. 
Kemudian angin menerpa halaman-halaman diary ku yang sejak tadi ku biarkan terbuka. 
Membuka halaman yang tidak ingin aku baca lagi. 
Masa lalu yang begitu membuatku tertekan, ketakutan dan kehilangan.

Angin seperti mengajak ku untuk bargabung, menari di udara, membawa apa saja yang dia suka.
Lalu kemudian menghantamkan dengan keras ke tanah sesuka hati mereka. 
Kaki ku sudah akan melompat, menerima ajakan angin, tetapi seseorang mencegahku melakukan itu. 
Tetapi aku memberontak, terus memberontak sampai aku tidak ingat apa-apa lagi.

“sayang, bangun sayang.” Suara lembut meyadarkanku.
“kamu mimpi lagi?” katanya lagi.
Air mata sudah mengalir dipipiku.
“aku mimpi itu lagi ma...” kataku samar
“mungkin itu karena kamu tidur di sini, ayo bangun. Pindah ke kasur.” 
Mama menuntunku menuju kasur. Aku tertidur saat menulis diary. 
Kemudian beliau memberiku segelas air putih. Aku masih menangis. 
Ketakutan menyergap hatiku.
“mau minum obat?”
“tidak ma, nanti juga baikan.”
“tapi kamu terlihat ketakutan sayang. Minum obat penenang dulu yah.” 
Aku tidak menolak, setelah selang beberapa menit, aku merasa mengantuk dan kemudian tertidur.

Paginya, kepalaku terasa pening. Badanku panas. Mama menyuruhku untuk tidak pergi ke sekolah dulu. Kemudian mama menelepon orang yang sering disebut psikiater.  
Setelah ditelepon, tiga puluh menit kemudian orang itu datang. Sebenarnya aku tidak mau bertemu dengan orang itu. 
Orang itu selalu mengajak ku untuk tenang dan kemudian aku kembali ke masa
lalu yang tidak ingin aku ingat.
Setelah dia bertanya yang tidak begitu penting, aku mulai merasak kantuk
yang tidak bisa ditahan. Kemudian,...

dilla berdiri saat motor yang sedang dikemudikan oleh seseorang melaju dengan kencang. 
Mambelah angin pegunungan. Serasa terbang, dilla merentangkan kedua tangannya  lebar-lebar, sesekali tertawa dan berteriak.
 “aku terbang!!” dilla berteriak seperti orang yang kerasukan. 
Aku  seperti mendapat sengatan dari teriakan saudara kembarku, 
aku menambah kecepatan laju sepeda motor. Meliuk-liukan badan motor saat ditikungan.
Begitu pula dengan jalan yang  naik, dan lurus, ku lakukan dengan kecepatan yang sama. 
Tetapi dilla tidak mencegahku. Karena dilla pun tidak sadar. Sangat menyenangkan sekali. 
Kegilaan kita semakin menjadi-jadi saat melihat tikungan tajam di depan.
“siap la? Kita akan beratraksi!!” teriakku
“ayo!! Maju!!” dilla berteriak senang.
aku mulai meliuk-liukan badan motor seperti pembalap, 
dilla bertepuk tangan di belakang. Kecepatan mulai bertambah, semakin bertambah. 
Dilla memeluk tubuhku, sepertinya dilla sedikit ngeri.
“kau takut la?"
"Aku sedikit ngeri.”
suara dilla terdengar samar-samar, namun masih terdengar. 
kami mulai menikung, kaki kami hampir menyentuh aspal. Dilla semakin mempererat pelukannya. 
Saat akan menggerakkan motor ke sisi yang lain, tanganku tidak kuat untuk menahan beban motor yang dinaiki oleh kami.
Motor oleng, tangan dan kaki kami bergesekan dengan aspal. 
Perih dan sakit. Tapi aku berusaha untuk menyeimbangkan motor agar tetap melaju dengan lurus.
Tetapi sepertinya tidak bertahan lama. aku sudah tidak kuat mempertahankan motor,
lalu kulepaskan tanganku. Aku menjatuhkan diri dan berguling-guling diaspal.
Sedangkan motor masih melaju, saat tubuhku berguling-guling, sepertinya aku terbentur. 
Mataku berkunang-kunang. Tapi ada satu yang aku lupakan. 
Di mana dilla? Tadi dia masih memelukku. Aku berusaha berdiri dan berjalan terseok-seok.
Ternyata dilla sudah lebih dahulu terjatuh saat kaki dan tangan kami bergesekekan dengan aspal.
Diila jatuh telungkup. Wajah bagian kiri dilla terluka karena bergesekan dengan aspal.
Darah segar menutupi wajah cantiknya. Aku menangis histeris. Bagaimana ini?
Apa yang harus aku lakukan? Aku memeluk dilla, membisikkan kalimat supaya dia bertahan.
Tetapi, aku juga terluka. Pandanganku semakin kabur, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku sadar, aku sudan berada di rumah sakit. Aku mencari-cari diila. 
Saat aku tanyakan pada mama. Mama hanya menangis, 
sepertinya beliau sedih sekali. Aku takut dilla meninggalkanku. Dan benar saja, papah 
memberitahuku kalau dilla sudah tidak ada. Aku shock mendengarnya. 
Maafkan aku dilla... maafkan aku...
Aku menangis sejadi-jadinya. Berteriak seperti orang gila. Dilla..........................................

mengapa begitu?

Aku injakan kakiku di lantai kayu.
Krieeet...
Lantai kayu ini sudah lapuk dan berdebu.
Ku langkah kan kaki perlahan, supaya lantai tidak semakin rusak oleh berat tubuhku.
Dingin menusuk telapak kakiku yang tidak beralas.
Lantai yang tua, atap yang sana-sini terlihat berlubang, tembok berlumut, dan sudut menjadi sarang laba-laba.
Jika tidak ada keperluan mendesak, aku tidak mau masuk ke rumah ini.
Rumah yang dulu di beli ayah sebelum peternakan ayah maju pesat seperti sekarang.
Setelah maju, kami menempati rumah baru. Yah, tepatnya di sebelah rumah ini. Akhirnya rumah ini hanya menjadi gudang tempat menyimpan peralatan ternak ayah yang sudah tidak terpakai.

"uh, kenapa ayah menyuruhku mengambil perkakas yang usang sih?" tanyaku pada diri sendiri.
Setelah 15 menit mencari, akhirnya aku temukan wadah kecil yang berisi perkakas usang milik ayah. Iseng, aku buka wadah itu dan di dalamnya hanya terdapat palu, paku, dan kunci inggris.
"hah? Kenapa di gudang peternakan ada benda semacam ini? Kenapa tidak di simpan di dalam rumah saja? Toh tidak memerlukan tempat yang besar." pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di kepalaku.
Segera akan aku tanyakan pada ayah.
Aku bangkit, lalu melihat sekeliling.
Arah pandangku terhenti pada benda yang berada di dekat mesin penetas telur ayam.
Apa lagi itu?
Aku hampiri benda itu.
Setelah ku dekati, waah...
Sebuah peti besar.
Bolehkah aku buka?
Ahh tak apa. Ayah kan tidak berpesan padaku untuk tidak menyentuh barang miliknya.


uhukk... Uhukk...
Aku terbatuk-batuk karena debu tebal yang menutupi peti tersebut.
Di dalamnya terdapat 3 helai gaun yang jika diamati gaun tersebut bergaya tahun 80'an.
Di dasar, ku temukan bingkai foto. Terpampang wajah cantik di bingkai tersebut. Ini siapa?
Cantiknya.
Ku bersihkan debu yang menempel pada kaca bingkai.
Aku terkesima melihat foto itu sebelum aku mendapatkan ada sepucuk surat di dalam peti.
Aku buka, lalu aku baca.

14 juni 1994

Dear jane,
belahan jiwaku.

Aku berhenti membaca. Ini untukku?
Apa benar?


Maafkan aku. Aku tidak bisa menemani mu saat kau butuh teman,
tidak bisa menjagamu saat kau lemah,
Tidak bisa merawatmu saat kau sakit,

tidak bisa memelukmu jika kau ketakutan.
Semua orang meminta ku untuk tidak melahirkanmu.
Aku mengidap penyakit di rahimku, namun aku tetap bersikeras ingin melahirkanmu.
Aku menyayangimu jane.
Karena itu aku melahirkanmu.
Teruskan hidupku, sayang.
Jangan menjadi perempuan lemah seperti aku.
Tolong maafkan aku...
Aku bukan ibu yang baik untukmu.
Semoga, kamu tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dan baik hati.
Jaga hidupmu. Jangan sia-sia kan.
Karena aku mengorbankan itu agar kau dapat melihat indahnya dunia.
Sayang, aku tulis surat ini karena aku tau umurku tidak akan lama lagi.
Salam sayang dari ibu yang tidak bisa menjagamu,
rebecca.



aku tercengang, ini?
Ini surat untuk ku dari ibu.
Surat ini dibuat 3 hari setelah aku lahir.
Jadi foto itu?
Itu wajah ibu?
Sampai saat ini aku belum pernah melihat wajahmu ibu.
Ayah selalu menutupi dan pura-pura tidak tau jika ku tanyakan.

Ibu...
Seharusnya ibu tidak perlu seperti itu.
Apa ibu tau betapa tersiksanya aku tanpamu?
Apa ibu tau itu?

Apa ibu tau betapa sakitnya saat teman-teman menceritakan ibu yang mereka punya?
Apa ibu tau semua itu?
Ibu...
Huhu...
Tangisku semakin menjadi.


Aku merindukanmu ibu.
Rindu sampai rasanya ingin mati.


Iya ibu, aku akan melanjutkan hidupmu.
Aku dilahirkan untuk hidup.
Aku janji ibu.
Tenanglah di sana.
Aku akan selalu mendoakanmu.